Tradisi Indonesia yang kuat adalah Aksi Kamisan. Penyintas dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia telah berkumpul setiap Kamis di depan Istana Merdeka selama 18 tahun. Mereka menuntut keadilan dengan payung hitam dan gambar orang yang hilang. Jumlah surat yang dikirim, yang mencakup 339 surat dari era SBY, telah meningkat menjadi 479 selama masa Jokowi. Namun, surat-surat ini tenggelam dalam keheningan birokrasi dan tidak pernah sampai ke meja pengambil keputusan.
Jokowi berkomitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang signifikan selama masa jabatannya. Kini hampir tidak ada narasi yang tegas seperti dulu. Setelah sepuluh tahun berkuasa, Jokowi menjadi lebih terkenal karena membangun jalan tol dan bandara, tetapi keadilan masih terhambat. Dokumen yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat masih disimpan di Kejaksaan Agung. Apakah janji keadilan mengering lebih cepat daripada beton?
Surat-Surat yang Terabaikan
Surat-surat dari Aksi Kamisan menunjukkan warisan hak asasi manusia Jokowi. Setiap Kamis, acara ini seolah-olah menjadi ritual di bawah sinar matahari Jakarta, sementara masalah yang tidak terselesaikan tersimpan di arsip pemerintah.
Ironisnya, Aksi Kamisan ke-836 terjadi beberapa hari sebelum Prabowo Subianto dilantik sebagai presiden. Ini adalah aksi terakhir. Seorang pemimpin yang namanya telah disebutkan dalam laporan-laporan pelanggaran HAM sebelumnya akan segera menjabat sebagai pemimpin, yang menimbulkan rasa sakit yang mendalam, terutama karena para demonstran mengirimkan surat di Istana Merdeka. Ini menunjukkan masalah utama negara ini: sistem yang tidak pernah berubah yang meletakkan keadilan di urutan terakhir.
Simfoni tanpa akhir
Masa jabatan Jokowi seperti simfoni yang tidak pernah berhenti. Dimulai dengan janji besar untuk menuntaskan masa lalu kelam Indonesia, nadanya secara bertahap hilang. Sampai saat ini, Komnas HAM telah mencatat dua belas kasus pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan. Kasus-kasus tersebut meliputi Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari 1989, Peristiwa Trisakti, Peristiwa Semanggi I dan II, Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998, Wasior Wamena, Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi 1998, Simpang KAA 1999, Jambu Keupok 2003, dan Rumah Geudan.
Jokowi membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat (PPHAM) pada tahun 2022. Meskipun upaya ini berharga, solusi non-yudisial hanyalah pengakuan simbolis yang tidak dapat menggantikan keadilan nyata. Korban tidak hanya menginginkan pengakuan publik; mereka juga menginginkan pengadilan yang transparan dan adil. Meskipun angka dapat digunakan untuk mengukur kemajuan infrastruktur dan jalan tol, bagaimana dengan keadilan? Pekerjaan hati bukan statistik.
Fakta bahwa kasus-kasus ini belum diselesaikan selama hampir dua puluh tahun menunjukkan bahwa negara gagal memenuhi kewajibannya kepada rakyatnya. Meskipun kasus-kasus ini rumit, impunitas yang dinikmati pelaku pelanggaran HAM adalah ketidakadilan yang jelas. Menurut laporan Amnesty International dan Human Rights Watch, impunitas masih menjadi masalah besar di Indonesia.
Aksi Kamisan adalah gejala dari masalah yang lebih dalam di Indonesia daripada hanya menuntut keadilan bagi korban tertentu. Ketidakmampuan pemerintah untuk mengatasi pelanggaran HAM sebelumnya melemahkan kredibilitas pemerintah dan mempertahankan budaya impunitas. Ini sangat memengaruhi kemajuan demokrasi Indonesia dan posisinya di mata dunia.
Meskipun pembangunan ekonomi sangat penting, tidak boleh mengorbankan hak asasi manusia. Kedua tidak perlu diperdebatkan. Indonesia dapat memperkuat demokrasinya dan membangun masyarakat yang lebih adil dan setara dengan menangani pelanggaran HAM yang terjadi sebelumnya.
Apakah Harapan Masih Ada?
Prabowo dilantik dengan cepat. Sungguh menarik, tetapi tidak mengejutkan. Publik mungkin sudah terbiasa dengan cerita lama yang berulang. Ada skeptisisme, tetapi harapan masih ada, meskipun hanya tersisa kegelapan. Dengan segala sejarah dan kontroversi yang menyertainya, Prabowo mungkin memiliki kemampuan untuk menulis bab baru dalam demokrasi Indonesia. Memungkinkan.
Sekarang ada kesempatan bagi Prabowo untuk menunjukkan bahwa kepemimpinannya tidak hanya diingat karena proyek infrastruktur, tetapi juga karena keberaniannya untuk membuka kembali lembaran hitam sejarah dan memberikan keadilan yang telah lama dinantikan. Karena Indonesia tidak hanya membutuhkan jalan raya baru, tetapi juga akses ke keadilan yang luas.
Surat-surat yang dikirim oleh Aksi Kamisan mungkin tidak pernah dijawab, tetapi pesannya jelas: keadilan tidak boleh lagi ditunda. Di bawah bayangan payung hitam itu, ada harapan, meskipun hanya secercah.